Jumat, 21 Oktober 2011

Model pembelajaran penjas

MACAM-MACAM MODEL PEMBELAJARAN PENJAS

Model Pembelajaran Penjas
Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai “pilihan” guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sebagian ahli menunjuk model pembelajaran dalam penjas sebagai jawaban atas pertanyaan guru tentang ”esensi apa yang diharapkan dari siswa melalui pendidikan jasmani?“. Mengikuti alur pikir tentang model di atas, model pembelajaran pendidikan jasmani dapat dibedakan antara model pendidikan gerak, model pendidikan olahraga, model pendidikan kebugaran, model kinesiological studies, model pengembangan disiplin, bahkan model petualangan (Jewet: 1994). Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.
1. Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut.
Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984). Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam kependidikan.  Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar” dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980). 
2. Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini. 
1) Dasar penerapan model meliputi:
 
a) menekankan pada partisipasi yang menyenangkan pada kegiatan-kegiatan yang mudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
b) menyediakan kegiatan-kegiatan kompetitif dan non-kompetitif dengan rentang yang bervariasi sesuai dengan tuntutan perbedaan kemampuan siswa
c) memberikan keterampilan (skill) dan keyakinan (confidence) yang diperlukan siswa agar dapat berpartisipasi aktif secara fisik.
d) melakukan promosi aktivitas fisik/olahraga pada seluruh komponen program sekolah dan mengembangkan hubungan antara program sekolah dan program masyarakat. 
Dengan menggunakan dasar penerapan di atas, model ini diharapkan dapat mengembangkan skill, kebugaran jasmani, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dapat menggiring siswa memiliki gaya hidup aktif dan sehat (active-healthy lifestyles). Model pembelajaran ini berkeyakinan bahwa keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari tertanamnya kesenangan siswa terhadap berbagai aktivitas fisik. Oleh karena itu, berbagai pembekalan seperti skill, kebugaran jasmani, sikap, pengetahuan, dan perilaku sehari-hari harus selalu berorientasi pada kesenangan dan keyakinan individu dalam rangka pembentukan gaya hidup aktif yang sehat di masa yang akan datang.
 
2) Karakteristik
Model kebugaran ini pada dasarnya merupakan model yang berorientasi pada materi ajar (subject oriented model), yang berlandaskan pada orientasi nilai penguasaan materi (disciplinary mastery value orientation). Namun, pada perkembangan sekarang ini, model ini seringkali merefleksikan orientasi nilai aktualisasi diri (self-actualization) atau perpaduan lingkungan (ecological integration). Beberapa program dari model ini, karenanya, mengintegrasikan pendidikan jasmani dengan konsep gaya hidup sehat (healthy lifestyle) yang lebih luas dengan komponen-komponen sosio-kultural (Jewett, dkk., 1995). Peranan guru dalam penerapan model ini lebih ditekankan pada upaya untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan, menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadministrasi program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pada aktivitas kebugaran saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik. 

3) Isu pelaksanaan model kebugaran jasmani
Realisasi pendidikan jasmani model kebugaran jasmani seringkali tidak memperhatikan konsep-konsep yang terkait dengan kebugaran jasmani dan keterkaitan aktivitas fisik untuk meningkatkan status kebugaran jasmani siswa. Anggapan kuat ciri khas model ini antara lain berisikan kegiatan tes kesegaran jasmani, membandingkan status siswa dengan standar orang lain, membujuk siswa dengan istilah “no pain, no gain”, dan aktivitas fisik di luar DAP yang seakan-akan menyiksa siswa dan merendahkan siswa. Program ini dibuat seakan-akan untuk mempersiapkan siswa menjadi anggota militer yang akan berperang. Programnya terfokus pada aktivitas “melatih” dan bukan “mendidik.” Padahal aspek mendidik ini jauh lebih penting untuk memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadi anak dalam menghadapi era baru dan teknologi tinggi di masa depan. 
Apa yang diajarkan oleh para guru pendidikan jasmani di sekolah-sekolah sekarang ini sangat mungkin menjadi faktor utama pembentuk kebiasaan (habit) dan sikap yang dapat dibawa sampai hari tua. Oleh karena itu harus diyakini bahwa apa yang diprogramkan oleh guru penjas bagi murid-muridnya harus menjamin terbentuknya kebiasaan positif dalam membentuk hidup aktif. Masalah-masalah yang terkait dengan program kebugaran jasmani dalam lingkup pendidikan jasmani memang bersifat sangat kompleks dan tidak bisa dipecahkan secara sederhana. Apalagi jika memperhitungkan faktor pengaruh luar yang lebih kuat, seperti siaran TV yang lebih banyak membentuk kebiasaan hidup yang negatif. Karenanya, di pundak para guru Penjas terletak kewajiban untuk menyemaikan konsep dan kebiasaan hidup yang bisa menjamin generasi penerus tidak terancam masalah serius di kemudian hari.
3. Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. 
Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
4. Model Pendidikan Kooperatif
a. Tiga Struktur Tujuan dalam Penjas: Kompetitif, Individual, dan Kooperatif
Untuk memaksimalkan pembelajaran, guru pendidikan jasmani biasanya harus menetapkan struktur tujuan yang mana yang akan digunakan untuk menghasilkan pencapaian tujuan bagi sebanyak mungkin siswa. Struktur tujuan adalah cara siswa berinteraksi secara verbal maupun secara fisik dengan teman sendiri atau dengan guru ketika terlibat dalam pembelajaran. Keputusan yang baik tentang tujuan mengarah langsung pada pencapaian hasil pendidikan jasmani, walaupun sering diabaikan oleh kebanyakan guru penjas. Pada dasarnya, terdapat tiga struktur tujuan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kompetitif, individual, dan kooperatif. Berikut akan dijelaskan masing-masing struktur tujuan tersebut.
1) Struktur Tujuan Kompetitif
Pertandingan regu dan perlombaan adalah dua contoh dari pembelajaran penjas yang menggunakan struktur tujuan kompetitif. Aktivitas pertandingan ini biasanya dikategorikan sebagai format “zero sum” di mana ada satu pemenang dan satu yang kalah, atau berformat “negative sum” dengan satu pemenang dan banyak yang kalah. Kategori lain bersifat lomba yang meningkat berkelanjutan (kontinjensi), di mana kelangsungan keikutsertaan ditentukan oleh keberhasilan yang tidak terputus. Contoh kategori ini dapat dilihat dalam lomba lompat tinggi, ketika pelompat yang tidak berhasil melalui ketinggian tertentu harus berhenti atau keluar dari lomba. Dalam pembelajaran yang berstruktur kompetitif, siswa bergantung secara negatif kepada yang lain. Ketergantungan negatif terjadi ketika keberhasilan seorang siswa atau sekelompok siswa terkait erat dengan ketidakberhasilan siswa atau sekelompok siswa lain. Jenis ketergantungan demikian sangat nyata terlihat ketika siswa berlomba dalam lompat tinggi atau beberapa nomor atletik lainnya. Seorang siswa dapat melakukan yang terbaik ketika siswa yang lain tidak bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa hasil positif biasanya dipercayai guru dalam penggunaan struktur tujuan tersebut dalam pendidikan jasmani. Asumsi utamanya menunjuk pada kepercayaan bahwa mahluk hidup termasuk manusia memang memiliki kecenderungan bawaan untuk berkompetisi. Dan karenanya, harus belajar berkompetisi agar bisa sukses dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Beberapa ahli umumnya menghubungkan kompetisi dengan hasil-hasil seperti berikut:
• Perkembangan karakter,
• Peningkatan self esteem dan self confidence,
• Motivasi untuk sukses
• Pemantapan keunggulan sebagai tujuan,
• Mempertahankan minat keikutsertaan,
• Rasa keberhasilan pribadi setelah mengalahkan orang lain,
Cara berpikir alternatif tentang kompetisi dan pengaruhnya pada pembelajaran timbul ketika asumsi dan hasil yang berbeda mulai diperhatikan oleh kita. Cukup menarik menemukan fakta bahwa kebanyakan interaksi harian dalam hidup lebih bersifat kooperatif, tidak kompetitif. Buktinya kita lebih sering bergantung pada peranan orang di luar diri kita. 
Di samping itu, kompetisi dengan sifat sangat bergantungnya pada standar (misalnya, peraturan, atau peralatan), justru menghasilkan situasi yang kurang diharapkan pada banyak siswa, sebab mereka tidaklah bersifat standar. Tetapi, mereka lebih bersifat heterogen dalam berbagai hal: kemampuan, minat, pengalaman, dan kematangan. Dengan kata lain, perbedaan individual siswa tidak sejalan dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk kompetisi.
Akibatnya, kompetisi dapat menjadi sebuah pengalaman yang menghambat pembelajaran bagi banyak siswa. Apalagi, karena tingginya tingkat kegagalan yang ditemui dalam kompetisi, hanya mereka yang mempunyai kesempatan untuk berhasil sajalah yang termotivasi. Karenanya, kompetisi hanya tepat bagi sekelompok siswa terpilih dalam satu kelas yang menunjukkan tingkat keterampilan dan kebugaran jasmani yang sama serta memilih untuk membandingkan penampilannya dengan orang lain. Beberapa studi malah menunjukkan bahwa aktivitas kompetitif membatasi kesempatan belajar siswa.
Seperti juga dilansir oleh beberapa pengamatan, keikutsertaan dalam aktivitas kompetisi tradisional tidak memberikan kesempatan pada semua siswa untuk berlatih, menguasai, dan memperhalus keterampilan yang diperlukan dalam partisipasi mereka. Dengan kata lain, menggunakan aktivitas pendidikan jasmani format kompetitif dapat menjadi penghalang pada pembelajaran siswa.
2) Struktur Tujuan Individual
Program Penjas pun terkadang menyandingkan struktur tujuan individual di dalamnya. Pembelajaran untuk cabang atau jenis olahraga seperti senam, latihan kebugaran, senam aerobik, atau renang, adalah beberapa contoh pembelajaran berformat individual. Pada saat pembelajaran individual, siswa biasanya tidak saling berhubungan dan tidak saling menggantungkan diri dengan siswa lain. Ketidakbergantungan tersebut
didefinisikan sebagai tidak adanya hubungan kerja antara individu selama berusaha mencapai tujuan pembelajarannya. Selama pembelajaran individual, pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak mempengaruhi pencapaian tujuan dari siswa yang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak adanya usaha pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak juga mempengaruhi ada atau tidak adanya usaha dari siswa lain.
Saling ketidakbergantungan demikian dapat diamati ketika seorang siswa sedang berusaha melakukan sebanyak mungkin gerakan push ups dalam waktu 30 detik. Pencapaian siswa tersebut tidak ada kaitannya dengan pencapaian atau tidak adanya pencapaian dari siswa lain. Siswa bekerja atau berlatih sendiri; interaksi di antara siswa tidak dipandang perlu atau didorong secara sengaja.
Pembelajaran individual dalam pendidikan jasmani memang mempunyai benang sejarah yang cukup panjang. Program penjas yang pada masa-masa awal perkembangannya banyak menekankan pada latihan pribadi (individual) seperti pada senam, atletik, atau keterampilan memainkan bola (meskipun pelaksanaannya dilakukan bersama-sama). Program pendidikan gerak yang didasarkan pada teori gerak dari Rudolf Laban merupakan kelanjutan dari pembelajaran individual. Analisis dari Locke tentang individualisasi dalam penjas juga merupakan penguat dari pembelajaran individual. Keyakinan bahwa usaha dan produktivitas hasil dari pembelajaran individual merupakan hal yang baik sudah diterima secara umum. Hasil-hasil seperti di bawah ini umumnya diyakini sebagai kelebihan dari pembelajaran individual:
• Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa,
• Memerlukan keterlibatan dari guru yang minimal,
• Pembelajaran individual meningkatkan pencapaian tujuan,
• Semua siswa mengalami keberhasilan,
• Pembelajaran individual menghilangkan persoalan sosial,
• Identitas dan karakter pribadi berkembang melalui kerja mandiri,
• Pembelajaran individual meningkatkan disiplin pribadi,
•Pembelajaran individual menghilangkan masalah kedisiplinan kelompok.
Namun demikian, banyak juga para ahli yang meragukan bahwa pembelajaran individual benar-benar efektif mengembangkan sifat-sifat di atas. Dari pengamatan, lebih banyak hal kontradiktif dari hasil di atas yang dapat ditemukan.
Pembelajaran individual, meskipun dipandang tepat untuk situasi tertentu, namun biasanya tidak berhasil mencapai hasil-hasil di atas bagi umumnya siswa. Pembelajaran individual tidak mendukung interaksi interpersonal yang positif di antara siswa karena siswa tidak diharuskan untuk berinteraksi. Diragukan juga bahwa pembelajaran individual dapat mengeliminir masalah sosial ketika siswa dipisahkan dari kegiatan temannya, karena saling ejek, pelabelan stereotipe, dan kecurigaan antar siswa tetap akan dapat berkembang.
3) Struktur Tujuan Kooperatif
Suatu contoh dari aktivitas penjas yang menggunakan struktur tujuan kooperatif adalah aktivitas mengumpulkan skor secara kolektif, di mana semua skor atau penampilan ditambahkan pada skor total dari kelompok. Ketika guru membangun struktur pembelajaran secara kooperatif, “saling-ketergantungan positif” berkembang di antara siswa. Pemahaman siswa bahwa mereka hanya dapat mencapai tujuan kalau siswa yang lain juga mencapai tujuan merupakan definisi yang tepat dari ketergantungan yang positif. Perasaan menjadi berada “pada sisi yang sama” adalah hasil dari struktur tujuan kooperatif. Contoh lain dari ‘saling-ketergantungan positif’ yang lain dalam aktivitas penjas adalah permainan kelompok piramid kecil. Ketika guru menyajikan tugas untuk membangun piramid (standen) oleh lima orang siswa bersamaan, maka semua akan terlibat dalam keseimbangan dan saling mendukung, siswa secara positif saling tergantung karena setiap siswa harus menyumbang dengan keseimbangan dan dukungan, atau, kalau tidak, mereka tidak akan mencapai tujuan sama sekali. Guru yang mengajar dengan pembelajaran kooperatif akan banyak melihat perilaku-perilaku seperti ini: empati, memperhatikan, menolong, menyemangati, mengajar, membantu, mendengarkan, dsb. Dan guru memang harus mengharapkan tumbuhnya manfaat-manfaat demikian pada siswa melalui keikutsertaannya dalam penjas.
5. Model Pendidikan Pengembangan Disiplin
Untuk menekankan peranan penjas dalam pembentukan watak dan karakter yang baik, rupanya para guru penjas pun perlu merintis penerapan model kurikulum humanistik, yang menurut pengembangnya, mampu meningkatkan rasa tanggung jawab dan disiplin anak. Pelaksanaan model kurikulum ini secara sederhana dapat diwakili oleh model Hellison yang telah mengembangkan prosedur untuk mengajak siswanya berlatih bersama meningkatkan rasa tanggung jawabnya dalam praktek pembelajaran penjas. 
Ø  Model Hellison
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya, pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari: 
·         Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang lain untuk berbuat serupa.
Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
·         Tidak pernah mau berbagi giliran dalam menggunakan alat dengan kawan lain. Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.
Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat mendapatkan peralatan.
Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan, tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh
misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.
Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu
tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa.
Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar

Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama, memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison, 1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh
misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.
2) Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani; misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3; dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar